EUROPESE LAGERE SCHOOL (ELS)
PERKEMBANGAN ELS
Setelah
Hindia Belanda diterima kembali dari tangan Inggris pada tahun 1816 oleh para
Komisaris Jenderal, maka pendidikan ditanggapi secara lebih sungguh-sungguh.
Namun, kegiatan mereka hanya tertuju pada anak-anak berdarah Belanda.
Sekolah
Belanda atau Europese Lagere School (ELS) sejak mulanya dimaksud agar sama
dengan yang di Nederland, walaupun terdapat perbedaan tentang muridnya,
khususnya pada permulaannya. Prinsip konkordansi ini merupakan prinsip yang
dominan selama sekolah ini ada. Tujuan utama, setidaknya pada taraf permulaan
ialah mengembangkan dan memperkuat kesadaran nasional di kalangan keturunan
Belanda, kebanyakan Indo-Belanda, termasuk anak-anak yang lahir dari hubungan
yang tak legal.
Alasan
yang penting tentang perlunya prinsip konkordansi ialah adanya sejumlah orang
Belanda yang kembali, libur, atau pensiun ke tanah asalnya sehingga perlulah
ada kesamaan sekolah itu agar anak-anak mereka dapat mengikuti sekolah dimana
pun mereka berada, tanpa mengalami kesulitan. Walaupun jumlah itu kecil, namun
prinsip konkordansi tetap dipertahankan dengan ketat selama masa penjajahan.
Prinsip
konkordansi ini terancam dengan banyaknya anak Indonesia dan Cina yang memasuki
sekolah ini. Penerimaan murid dari kedua golongan ini menjadi masalah yang tak
berkesudahan.
ELS
pertama didirikan pada tahun 1817 di Batavia (Jakarta). Sekolah ini yang semula
dimaksud untuk anak-anak miskin mula-mula bermutu rendah karena guru yang
kurang berwewenang dan latar belakang murid yang kurang baik. Orang tua yang
berada, yang tidak ingin anaknya bercampur dengan anak-anak golongan rendah
lebih suka mengirim anaknya ke negeri Belanda atau sekolah swasta. Maka
dirasakan perlunya sekolah khusus untuk anak-anak dari golongan tinggi dan pada
tahun 1833 didirikanlah Eerste Europese Lagere School (ELS
pertama). Oleh karena biaya sekolah Eerste Europese Lagere School (ELS pertama)
cukup tinggi, maka mereka yang tidak sanggup harus memasuki ELS bukan pertama.
ELS pertama menyajikan pendidikan yang lebih tinggi mutunya, tidak menerima
anak-anak Indonesia sekalipun anak ningrat tinggi.
KURIKULUM ELS
Tujuan
ELS bukan lagi mendidik orang agar taat beragama, melainkan menjadi anak warga
negara yang baik. Kurikulum terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis,
berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lain. Menurut
peraturan kurikulum dapat diperluas dengan mata pelajaran yang lebih tinggi
seperti ilmu alam,dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris dan Jerman, matematika
dan lain-lain.
Bahasa
Perancis mula-mula dimasukkan ke ELS pertama pada tahun 1868 dan merupakan mata
pelajaran yang penting sebagai syarat memasuki HBS.
Lambat laun timbul kritik terhadap bahasa
Perancis dengan saran agar mata
pelajaran ini ditiadakan. Alasannya ialah bahwa Indonesia terletak diantara negara jajahan berbahasa Inggris. Maka
sudah selayaknya bahasa Perancis diganti dengan bahasa Inggris sebagai mata
pelajaran wajib di ELS.
Perkumpulan guru-guru Belanda di Hindia
Belanda dalam rapat umum tahun 1906 mengemukakan bahwa anak-anak Indo belajar
bahasa Perancis memakan waktu yang lama disamping belajar bahasa Belanda.
Walaupun banyak kritik dilancarkan, namun
prinsip konkordansi sangat kuat, dan menghapus bahasa Prancis akan membuat
ELS inferior dan menimbulkan kesukaran
bagi anak-anak yang melanjutkan perjalanannya di negeri Belanda.
ELS seperti halnya semua sekolah lainnya
dapat dipandang sebagai alat politik yang sepenuhnya dikuasai dan di awasi oleh
pemerintah. Pengajaran bahasa Belanda memegang peranan utama dan meresapi semua
pelajaran lainnya. Penguasaan bahasa itu milik yang sangat berharga dan
merupakan kunci untuk menjadi pegawai. Kemampuan berbahasa Belanda hanya
terbatas pada golongan terdidik, golongan intelektual yanng menduduki tempat
yang terhormat dalam masyarakat.
Dengan mementingkan bahasa Belanda, maka
pemerintah memperoleh alat yang sangat ampuh untuk mengontrol rakyat. Para
inspektur sangat memperhatikan bahasa ini. Selain itu, alat-alat kontrol
lainnya ialah sumpah setia dan rahasia dari setiap guru ELS, penggunaan buku
yang ditentukan oleh pemerintah dan kurikulum yang uniform.
LANJUTAN ELS
Murid-murid ELS dapat menempuh dua macam ujian,
yaitu pegawai rendah (Klein Ambtenaars examen) setelah kelas 6 dan ujian masuk
HBS (Hogere Burgerschool) setelah lulus kelas 7.
HBS merupakan jalan satu-satunya ke
Universitas di negeri Belanda. Mereka yang tidak melanjutkan pelajarannya telah
dapat mengharapkan pekerjaan yang baik bila memiliki ijazah HBS.
Keuntungan
ELS adalah bahwa sekolah ini merupakan bagian yang integral dari sesuatu sistem
pendidikan dari sekolah rendah sampai perguruan tinggi.
FASILITAS
Menurut laporan inspeksi 1891 dan selanjutnya,
gedung ELS selalu dalam kondisi yang baik.
Perabot,
buku, dan alat pengajaran yang lain selalu lengkap. Ini berarti bahwa untuk
anak-anak Belanda disediakan sekolah yang paling baik dan paling lengkap,
berbeda dengan sekolah untuk anak Indonesia.
Menurut
peraturan pemerintah gedung sekolah dibuat dari batu bata dengan atap genting,
dilokasi yang tenang dan jauh dari jalan raya.
GURU
Berbagai usaha dijalankan untuk memperoleh guru yang berkualifikasi tinggi :
mendatangkan dari Belanda, melatihnya di Indonesia atau menyuruh pemuda ke
Nederland untuk pendidikan guru.
Karena
tidak mudah mendatangkan guru dari negeri Belanda, maka tiap tahun dikirim 24
calon ke Nederland yang belajar selama 2 tahun pada sekolah guru atas biaya
pemerintah.
Akhirnya
di Indonesia sendiri dibuka Kursus Normal 2 tahun untuk mendidik guru ELS dan
Kursus Normal 3 tahun untuk mendapat tingkat kepala sekolah. Kurikulumnya
terutama merupakan pendalaman dan perluasan mata pelajaran yang diberikan di
ELS Kursus Normal ini jangan dikacaukan dengan Sekolah Normal untuk guru
sekolah pribumi.
Walaupun guru-guru telah dididik di Indonesia, guru
baru masih terus didatangkan dari negeri Belanda. Pertama karena masih
kekurangan guru, akan tetapi juga untuk mendapatkan guru-guru yang segar dari
Nederkand sehingga dapat memelihara suasana Belanda yang murni.
Suatu
masalah timbul sewaktu dua wanita Indonesia berhasil mendapat ijazah guru di
negeri Belanda, yang secara legal berwenang untuk mengajar di ELS, karena tidak
ada undang-undang yang mengadakan diskriminasi kebangsaan atau rasial.
Hazeu,
Direktur Departemen Pengajaran tidak melihat alasan mengapa seorang Indonesia
yang memiliki ijazah yang sah tidak diizinkan mengajar di ELS. Akan tetapi
Dewan Hindia yang konservatif yang senantiasa melindungi kepentingan Belanda,
menandaskan dengan tegas bahwa pribumi tak layak mendidik anak Belanda, karena
mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sesuai. Dalam
pendidikan, katanya, tidak hanya pengetahuan guru yang penting, akan tetapi
juga kepribadiannya, sikap moral, dan cara berpikir. Guru pribumi tidak akan
dihormati oleh anak Belanda.
Sejak
itu, sampai Belanda menyerah kepada Jepang, tak seorang Indonesia pun yang
pernah diangkat sebagai guru ELS.
INSPEKSI
Inspeksi
merupakan aspek yang penting dalam sistem pendidikan Belanda. Peraturan sekolah
tahun 1818 terutama membicarakan soal inspeksi. Pada
saat itu ditemukan bahwa tiap sekolah harus dikunjungi setidaknya sekali dalam
satu minggu.
Para
inspektur harus memeriksa apakah kurikulum resmi diikuti degan cermat. Mereka
menghadiri pelajaran yang diberikan guru dan memberikan saran-saran perbaikan
dengan cara yang tenang dan bijaksana. Guru berhak mengetahui hasil inspeksi
dan mempertahankan diri. Karena hasil inspeksi terutama berisi kesalahan dan
kekurangan guru dan sekolah, dianjurkan oleh atasan agar juga diberi pujian dan
penghargaan atas usaha-usaha yang baik.
PENERIMAAN MURID
Semua
anak orang Eropa dan mereka yang secara legal dipersamakan dengan orang Eropa
berhak untuk memasuki sekolah ini, asal salah seorang orang tuanya orang Eropa.
Kelompok
lain yang mudah memasuki sekolah ini ialah anak-anak serdadu dari Manado,
Ambon, Ternate, dan Tidore, asal mereka beragama Kristen dan berada di luar
daerahnya.
Walaupun
ELS didirikan dengan maksud memberi pendidikan bagi anak-anak Belanda, namun
sekolah ini juga penting bagi anak-anak Indonesia karena juga menerima
anak-anak dari golongan itu. Akan tetapi penerimaan anak-anak Indonesia
senantiasa merupakan masalah yang tak kunjung terpecahkan dengan memuaskan
kedua belah pihak.
Europese
Lagere School (ELS) yang sedianya diperuntukkan bagi orang Eropa dan mereka yang disamakan statusnya kemudian dirumuskan
sebagai sekolah untuk pendidikan Eropa
yang membuka jalan bagi anak Indonesia untuk memasukinya.
Masa
lunak pada zaman liberal, yang memberi kebebasan luas kepada anak Indonesia
untuk menikmati pendidikan Barat menimbulkan reaksi di kalangan orang Belanda
yang direalisasikan dalam peraturan tahun 1894 yang menentukan bahwa :
-
Anak
Indonesia tidak boleh melebihi usia 7 tahun agar dapat diterima (ini tidak
berlaku bagi anak Belanda)
-
Penerimaan
anak bukan Belanda jangan menyebabkan ditolaknya anak Belanda karena kekurangan
tempat
-
Untuk
anak Indonesia dikenakan pembayaran uang sekolah yang lebih berat
-
Anak
Indonesia tidak boleh tinggal dikelas yangn sama lebih dari dua tahun (tidak
berlaku bagi anak Belanda)
Usul J.H.Abendanon pada masa Politik Etis
untuk memperluas penerimaan anak Indonesia di ELS ditolak. Akan tetapi pada
tahun 1903 peraturan diperlunak.
Akan tetapi segera timbul reaksi atas
kelunakan penerimaan itu dan pada tahun 1905 diadakan angket untuk mengetahui
pengaruh anak-anak Indonesia terhadap mutu intelektual, moral, dan bahasa
Belanda.
Pada tahun 1908 timbul gerakan baru di
bumi Indonesia, Budi Utomo yang dalam kongres pertamanya, 1908, meminta kepada
pemerintah Belanda, agar jangan terlampau banyak mengadakan rintangan bagi
anak-anak Indonesia untuk memasuki ELS.
Pada tahun 1911 diadakan peraturan untuk
menerima anak Indonesia berdasarkan kebutuhannya akan pendidikan Barat dalam
tugasnya kelak dengan mempertimbangkan kedudukan orang tuanya. Timbul unsur
baru dalam penerimaan murid : status sosial dan pendidikan orang tua.
Walaupun Sekolah Kelas Satu pada tahun
1914 diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda namun
keinginan masuk ELS tidak berkurang. Anak-anak priyayi dan pegawai berkedudukan
tinggi lainnya menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang sama dengan anak
Belanda, suatu hal yang sepenuhnya dipahami oleh pemerintah Belanda. ELS
selanjutnya tetap terbuka bagi anak Indonesia.
Keberatan-keberatan Terhadap Penerimaan Anak Indonesia
Keberatan-keberatan
penerimaan anak Indonesia boleh dikatakan telah timbul sejak didirikannya ELS.
Macam-macam
alasan yang dikemukakan untuk mengurangi jumlah masuknya anak Indonesia yang
sering tidak berdasarkan kenyataan, misalnya bahwa anak Indonesia mengurangi
mutu, bahwa kurikulum ELS tidak sesuai bagi anak Indonesia. Alasan bahwa anak
Indonesia menurunkan mutu pendidikan tidak dapat dipertahankan karena dibantah
oleh angka-angka rapor.
Semua
alasan itu sebenarnya tidak dapat diterima,oleh sebab sejak 1902 ELS bukanlah
semata-mata sekolah untuk anak orang Barat, melainkan sekolah yang memberikan
pendidikan Barat. Maka memasuki ELS secara legal bukan suatu privilise
melainkan suatu hak berdasakan undang-undang. Hanya karena penerimaan anak
Indonesia dikenakan berbagai rintangan, maka tampaknya seolah-olah suatu
keistimewaan.
Alasan Memasuki ELS
Alasan
memasuki ELS walaupun telah didirikan HIS, yaitu :
- selama beberapa dekade ELS merupakan satu-satunya sekolah yang memberi persiapan untuk ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaar) dan untuk melanjutkan pelajaran ke HBS dan seterusnya ke Universitas, juga untuk Sekolah Dokter Djawa dan OSVIA (Sekolah Pamong Praja).
- ELS memberi jalan yang lebih terjamin dan pendek untuk kelanjutan pelajaran.
- Kualitas ELS selalu lebih tinggi daripada HIS dalam kenyataan pendidikan dan juga di mata para majikan. Standar akademis ELS sama dengan yang di Nederland. ELS adalah sekolah elite yang memberi prestise tinggi kepada anak dan orang tua.
POPULASI SEKOLAH
Dalam
tiga dekade jumlah anak Belanda dari tahun 1890 samapi 1918 bertambah hanya
68%. Salah satu alasannya ialah bahwa pada tahun 1870 semua anak Belanda telah
mendapat kesempatan untuk bersekolah dan pertambahan jumlah murid sejalan
dengan pertumbuhan jumlah anak yang mencapai usia sekolah. Jadi tidak ada
kebutuhan akan pendidikan yang masih harus dipenuhi.
Sebaliknya
dikalangan orang Indonesia kebutuhan akan pendidikan jauh lebih besar daripada
yang dapat diberikan di ELS. Maka pertambahan jumlah anak Indonesia relatif
lebih besar yakni 8 kali lebih cepat daripada petambahan anak-anak Belanda.
Jumlah
anak Cina ralatif lebih cepat bertambah dibandingkan dengan kelompok rasial
lainnya. Sejak tahun 1908 mereka mendapat kesempatan memasuki HCS (Hollands
Chinese School).
RANGKUMAN DAN TINJAUAN
Guru-guru Belanda mengakui kemampuan
anak-anakIndonesia dalam segala mata pelajaran, sekalipun semua pelajaran
diselenggarakan dalam bahasa Belanda.
Prestasi
akademis anak Indonesia tidak kalah dari anak-anak Belanda seperti nyata dari
presentase lulusan masuk HBS atau ujian pegawai rendah.
Namun
kapasitas intelektual bukan satu-satunya syarat memasuki ELS, akan tetapi
terutama kedudukan sosial orang tuanya. Pada hakikatnya pendidikan selalu
dipandang orang Belanda sebagai bahaya potensial bagi minoritas orang Belanda
menghadapi orang Indonesia yang 200 kali lipat jumlahnya. Pendidikan hanya
diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan
Belanda dalam jumlah yang sangat terbatas.
Bagi
anak Indonesia, sekolah yang bercorak Barat tak mungkin menjadi sekolah umum
bagi seluruh rakyat, karena akan menjauhkan anak dari kebudayaannya.
Kurikulum
ELS yang sebagian besar ditetapkan di Nederland tak mungkin relevan dengan
kebutuhan anak Indonesia. Namun ELS tetap dipertahankan demi kepentingan
segelintir anak yang mungkin kembali ke tanah airnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar