Jumat, 20 April 2012

Europese Lagere School (ELS)


EUROPESE LAGERE SCHOOL (ELS)



PERKEMBANGAN ELS

            Setelah Hindia Belanda diterima kembali dari tangan Inggris pada tahun 1816 oleh para Komisaris Jenderal, maka pendidikan ditanggapi secara lebih sungguh-sungguh. Namun, kegiatan mereka hanya tertuju pada anak-anak berdarah Belanda.
            Sekolah Belanda atau Europese Lagere School (ELS) sejak mulanya dimaksud agar sama dengan yang di Nederland, walaupun terdapat perbedaan tentang muridnya, khususnya pada permulaannya. Prinsip konkordansi ini merupakan prinsip yang dominan selama sekolah ini ada. Tujuan utama, setidaknya pada taraf permulaan ialah mengembangkan dan memperkuat kesadaran nasional di kalangan keturunan Belanda, kebanyakan Indo-Belanda, termasuk anak-anak yang lahir dari hubungan yang tak legal.
            Alasan yang penting tentang perlunya prinsip konkordansi ialah adanya sejumlah orang Belanda yang kembali, libur, atau pensiun ke tanah asalnya sehingga perlulah ada kesamaan sekolah itu agar anak-anak mereka dapat mengikuti sekolah dimana pun mereka berada, tanpa mengalami kesulitan. Walaupun jumlah itu kecil, namun prinsip konkordansi tetap dipertahankan dengan ketat selama masa penjajahan.
            Prinsip konkordansi ini terancam dengan banyaknya anak Indonesia dan Cina yang memasuki sekolah ini. Penerimaan murid dari kedua golongan ini menjadi masalah yang tak berkesudahan.
            ELS pertama didirikan pada tahun 1817 di Batavia (Jakarta). Sekolah ini yang semula dimaksud untuk anak-anak miskin mula-mula bermutu rendah karena guru yang kurang berwewenang dan latar belakang murid yang kurang baik. Orang tua yang berada, yang tidak ingin anaknya bercampur dengan anak-anak golongan rendah lebih suka mengirim anaknya ke negeri Belanda atau sekolah swasta. Maka dirasakan perlunya sekolah khusus untuk anak-anak dari golongan tinggi dan pada tahun 1833 didirikanlah Eerste Europese Lagere School (ELS pertama). Oleh karena biaya sekolah Eerste Europese Lagere School (ELS pertama) cukup tinggi, maka mereka yang tidak sanggup harus memasuki ELS bukan pertama. ELS pertama menyajikan pendidikan yang lebih tinggi mutunya, tidak menerima anak-anak Indonesia sekalipun anak ningrat tinggi.

KURIKULUM  ELS

            Tujuan ELS bukan lagi mendidik orang agar taat beragama, melainkan menjadi anak warga negara yang baik. Kurikulum terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lain. Menurut peraturan kurikulum dapat diperluas dengan mata pelajaran yang lebih tinggi seperti ilmu alam,dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris dan Jerman, matematika dan lain-lain.
            Bahasa Perancis mula-mula dimasukkan ke ELS pertama pada tahun 1868 dan merupakan mata pelajaran yang penting sebagai syarat memasuki HBS.
Lambat laun timbul kritik terhadap bahasa Perancis dengan saran agar mata pelajaran ini ditiadakan. Alasannya ialah bahwa Indonesia terletak diantara negara jajahan berbahasa Inggris. Maka sudah selayaknya bahasa Perancis diganti dengan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di ELS.
Perkumpulan guru-guru Belanda di Hindia Belanda dalam rapat umum tahun 1906 mengemukakan bahwa anak-anak Indo belajar bahasa Perancis memakan waktu yang lama disamping belajar bahasa Belanda.
Walaupun banyak kritik dilancarkan, namun prinsip konkordansi sangat kuat, dan menghapus bahasa Prancis akan membuat ELS  inferior dan menimbulkan kesukaran bagi anak-anak yang melanjutkan perjalanannya di negeri Belanda.
ELS seperti halnya semua sekolah lainnya dapat dipandang sebagai alat politik yang sepenuhnya dikuasai dan di awasi oleh pemerintah. Pengajaran bahasa Belanda memegang peranan utama dan meresapi semua pelajaran lainnya. Penguasaan bahasa itu milik yang sangat berharga dan merupakan kunci untuk menjadi pegawai. Kemampuan berbahasa Belanda hanya terbatas pada golongan terdidik, golongan intelektual yanng menduduki tempat yang terhormat dalam masyarakat.
Dengan mementingkan bahasa Belanda, maka pemerintah memperoleh alat yang sangat ampuh untuk mengontrol rakyat. Para inspektur sangat memperhatikan bahasa ini. Selain itu, alat-alat kontrol lainnya ialah sumpah setia dan rahasia dari setiap guru ELS, penggunaan buku yang ditentukan oleh pemerintah dan kurikulum yang uniform.

LANJUTAN ELS

            Murid-murid ELS dapat menempuh dua macam ujian, yaitu pegawai rendah (Klein Ambtenaars examen) setelah kelas 6 dan ujian masuk HBS (Hogere Burgerschool) setelah lulus kelas 7.
HBS merupakan jalan satu-satunya ke Universitas di negeri Belanda. Mereka yang tidak melanjutkan pelajarannya telah dapat mengharapkan pekerjaan yang baik bila memiliki ijazah HBS.
            Keuntungan ELS adalah bahwa sekolah ini merupakan bagian yang integral dari sesuatu sistem pendidikan dari sekolah rendah sampai perguruan tinggi.

FASILITAS

            Menurut laporan inspeksi 1891 dan selanjutnya, gedung ELS selalu dalam kondisi yang baik.
            Perabot, buku, dan alat pengajaran yang lain selalu lengkap. Ini berarti bahwa untuk anak-anak Belanda disediakan sekolah yang paling baik dan paling lengkap, berbeda dengan sekolah untuk anak Indonesia.
            Menurut peraturan pemerintah gedung sekolah dibuat dari batu bata dengan atap genting, dilokasi yang tenang dan jauh dari jalan raya.

GURU

            Berbagai usaha dijalankan untuk memperoleh guru yang berkualifikasi tinggi : mendatangkan dari Belanda, melatihnya di Indonesia atau menyuruh pemuda ke Nederland untuk pendidikan guru.
            Karena tidak mudah mendatangkan guru dari negeri Belanda, maka tiap tahun dikirim 24 calon ke Nederland yang belajar selama 2 tahun pada sekolah guru atas biaya pemerintah.
            Akhirnya di Indonesia sendiri dibuka Kursus Normal 2 tahun untuk mendidik guru ELS dan Kursus Normal 3 tahun untuk mendapat tingkat kepala sekolah. Kurikulumnya terutama merupakan pendalaman dan perluasan mata pelajaran yang diberikan di ELS Kursus Normal ini jangan dikacaukan dengan Sekolah Normal untuk guru sekolah pribumi.
            Walaupun  guru-guru telah dididik di Indonesia, guru baru masih terus didatangkan dari negeri Belanda. Pertama karena masih kekurangan guru, akan tetapi juga untuk mendapatkan guru-guru yang segar dari Nederkand sehingga dapat memelihara suasana Belanda yang murni.
            Suatu masalah timbul sewaktu dua wanita Indonesia berhasil mendapat ijazah guru di negeri Belanda, yang secara legal berwenang untuk mengajar di ELS, karena tidak ada undang-undang yang mengadakan diskriminasi kebangsaan atau rasial.
            Hazeu, Direktur Departemen Pengajaran tidak melihat alasan mengapa seorang Indonesia yang memiliki ijazah yang sah tidak diizinkan mengajar di ELS. Akan tetapi Dewan Hindia yang konservatif yang senantiasa melindungi kepentingan Belanda, menandaskan dengan tegas bahwa pribumi tak layak mendidik anak Belanda, karena mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sesuai. Dalam pendidikan, katanya, tidak hanya pengetahuan guru yang penting, akan tetapi juga kepribadiannya, sikap moral, dan cara berpikir. Guru pribumi tidak akan dihormati oleh anak Belanda.
            Sejak itu, sampai Belanda menyerah kepada Jepang, tak seorang Indonesia pun yang pernah diangkat sebagai guru ELS.

INSPEKSI

            Inspeksi merupakan aspek yang penting dalam sistem pendidikan Belanda. Peraturan sekolah tahun 1818 terutama membicarakan soal inspeksi. Pada saat itu ditemukan bahwa tiap sekolah harus dikunjungi setidaknya sekali dalam satu minggu.
            Para inspektur harus memeriksa apakah kurikulum resmi diikuti degan cermat. Mereka menghadiri pelajaran yang diberikan guru dan memberikan saran-saran perbaikan dengan cara yang tenang dan bijaksana. Guru berhak mengetahui hasil inspeksi dan mempertahankan diri. Karena hasil inspeksi terutama berisi kesalahan dan kekurangan guru dan sekolah, dianjurkan oleh atasan agar juga diberi pujian dan penghargaan atas usaha-usaha yang baik.




PENERIMAAN MURID

            Semua anak orang Eropa dan mereka yang secara legal dipersamakan dengan orang Eropa berhak untuk memasuki sekolah ini, asal salah seorang orang tuanya orang Eropa.
            Kelompok lain yang mudah memasuki sekolah ini ialah anak-anak serdadu dari Manado, Ambon, Ternate, dan Tidore, asal mereka beragama Kristen dan berada di luar daerahnya.
            Walaupun ELS didirikan dengan maksud memberi pendidikan bagi anak-anak Belanda, namun sekolah ini juga penting bagi anak-anak Indonesia karena juga menerima anak-anak dari golongan itu. Akan tetapi penerimaan anak-anak Indonesia senantiasa merupakan masalah yang tak kunjung terpecahkan dengan memuaskan kedua belah pihak.
            Europese Lagere School (ELS) yang sedianya diperuntukkan bagi orang Eropa dan mereka yang disamakan statusnya kemudian dirumuskan sebagai sekolah untuk pendidikan Eropa yang membuka jalan bagi anak Indonesia untuk memasukinya.
            Masa lunak pada zaman liberal, yang memberi kebebasan luas kepada anak Indonesia untuk menikmati pendidikan Barat menimbulkan reaksi di kalangan orang Belanda yang direalisasikan dalam peraturan tahun 1894 yang menentukan bahwa :
-        Anak Indonesia tidak boleh melebihi usia 7 tahun agar dapat diterima (ini tidak berlaku bagi anak Belanda)
-        Penerimaan anak bukan Belanda jangan menyebabkan ditolaknya anak Belanda karena kekurangan tempat
-        Untuk anak Indonesia dikenakan pembayaran uang sekolah yang lebih berat
-        Anak Indonesia tidak boleh tinggal dikelas yangn sama lebih dari dua tahun (tidak berlaku bagi anak Belanda)
Usul J.H.Abendanon pada masa Politik Etis untuk memperluas penerimaan anak Indonesia di ELS ditolak. Akan tetapi pada tahun 1903 peraturan diperlunak.
Akan tetapi segera timbul reaksi atas kelunakan penerimaan itu dan pada tahun 1905 diadakan angket untuk mengetahui pengaruh anak-anak Indonesia terhadap mutu intelektual, moral, dan bahasa Belanda.
Pada tahun 1908 timbul gerakan baru di bumi Indonesia, Budi Utomo yang dalam kongres pertamanya, 1908, meminta kepada pemerintah Belanda, agar jangan terlampau banyak mengadakan rintangan bagi anak-anak Indonesia untuk memasuki ELS.
Pada tahun 1911 diadakan peraturan untuk menerima anak Indonesia berdasarkan kebutuhannya akan pendidikan Barat dalam tugasnya kelak dengan mempertimbangkan kedudukan orang tuanya. Timbul unsur baru dalam penerimaan murid : status sosial dan pendidikan orang tua.
Walaupun Sekolah Kelas Satu pada tahun 1914 diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda namun keinginan masuk ELS tidak berkurang. Anak-anak priyayi dan pegawai berkedudukan tinggi lainnya menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang sama dengan anak Belanda, suatu hal yang sepenuhnya dipahami oleh pemerintah Belanda. ELS selanjutnya tetap terbuka bagi anak Indonesia.

Keberatan-keberatan Terhadap Penerimaan Anak Indonesia
            Keberatan-keberatan penerimaan anak Indonesia boleh dikatakan telah timbul sejak didirikannya ELS.
            Macam-macam alasan yang dikemukakan untuk mengurangi jumlah masuknya anak Indonesia yang sering tidak berdasarkan kenyataan, misalnya bahwa anak Indonesia mengurangi mutu, bahwa kurikulum ELS tidak sesuai bagi anak Indonesia. Alasan bahwa anak Indonesia menurunkan mutu pendidikan tidak dapat dipertahankan karena dibantah oleh angka-angka rapor.
            Semua alasan itu sebenarnya tidak dapat diterima,oleh sebab sejak 1902 ELS bukanlah semata-mata sekolah untuk anak orang Barat, melainkan sekolah yang memberikan pendidikan Barat. Maka memasuki ELS secara legal bukan suatu privilise melainkan suatu hak berdasakan undang-undang. Hanya karena penerimaan anak Indonesia dikenakan berbagai rintangan, maka tampaknya seolah-olah suatu keistimewaan.


Alasan Memasuki ELS

            Alasan memasuki ELS walaupun telah didirikan HIS, yaitu :
  1. selama beberapa dekade ELS merupakan satu-satunya sekolah yang memberi persiapan untuk ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaar) dan untuk melanjutkan pelajaran ke HBS dan seterusnya ke Universitas, juga untuk Sekolah Dokter Djawa dan OSVIA (Sekolah Pamong Praja).
  2. ELS memberi jalan yang lebih terjamin dan pendek untuk kelanjutan pelajaran.
  3. Kualitas ELS selalu lebih tinggi daripada HIS dalam kenyataan pendidikan dan juga di mata para majikan. Standar akademis ELS sama dengan yang di Nederland. ELS adalah sekolah elite yang memberi prestise tinggi kepada anak dan orang tua.

POPULASI SEKOLAH

            Dalam tiga dekade jumlah anak Belanda dari tahun 1890 samapi 1918 bertambah hanya 68%. Salah satu alasannya ialah bahwa pada tahun 1870 semua anak Belanda telah mendapat kesempatan untuk bersekolah dan pertambahan jumlah murid sejalan dengan pertumbuhan jumlah anak yang mencapai usia sekolah. Jadi tidak ada kebutuhan akan pendidikan yang masih harus dipenuhi.
            Sebaliknya dikalangan orang Indonesia kebutuhan akan pendidikan jauh lebih besar daripada yang dapat diberikan di ELS. Maka pertambahan jumlah anak Indonesia relatif lebih besar yakni 8 kali lebih cepat daripada petambahan anak-anak Belanda.
            Jumlah anak Cina ralatif lebih cepat bertambah dibandingkan dengan kelompok rasial lainnya. Sejak tahun 1908 mereka mendapat kesempatan memasuki HCS (Hollands Chinese School).

RANGKUMAN DAN TINJAUAN

            Guru-guru Belanda mengakui kemampuan anak-anakIndonesia dalam segala mata pelajaran, sekalipun semua pelajaran diselenggarakan dalam bahasa Belanda.
            Prestasi akademis anak Indonesia tidak kalah dari anak-anak Belanda seperti nyata dari presentase lulusan masuk HBS atau ujian pegawai rendah.
            Namun kapasitas intelektual bukan satu-satunya syarat memasuki ELS, akan tetapi terutama kedudukan sosial orang tuanya. Pada hakikatnya pendidikan selalu dipandang orang Belanda sebagai bahaya potensial bagi minoritas orang Belanda menghadapi orang Indonesia yang 200 kali lipat jumlahnya. Pendidikan hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan Belanda dalam jumlah yang sangat terbatas.
            Bagi anak Indonesia, sekolah yang bercorak Barat tak mungkin menjadi sekolah umum bagi seluruh rakyat, karena akan menjauhkan anak dari kebudayaannya.
            Kurikulum ELS yang sebagian besar ditetapkan di Nederland tak mungkin relevan dengan kebutuhan anak Indonesia. Namun ELS tetap dipertahankan demi kepentingan segelintir anak yang mungkin kembali ke tanah airnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar